Wacana Pembentukan Presidential Club Pada Pemerintahan Prabowo – Gibran

Patricia Ekowati Suryaningsih dan Deli Waryenti.
Patricia Ekowati Suryaningsih dan Deli Waryenti.

PC gagasan Prabowo merupakan klub yang akan diisi oleh para mantan Presiden Republik Indonesia yang masih hidup. Dengan demikian diharapkan para mantan Presiden bisa tetap rutin bertemu dan berdiskusi tentang masalah-masalah strategis kebangsaan, sehingga silaturahmi kebangsaan tetap terjaga dan menjadi teladan bagi generasi penerus bangsa (Dahnil Azwar, detiknews, 14 Mei 2024).

Berbicara mengenai PC yang akan dibentuk sebagai teman diskusi Presiden, sebenarnya dalam praktek ketatanegaraan indonesia kita sudah mengenal lembaga/institusi yang secara formal dibentuk yang kegiatan atau tugas utamanya adalah membantu Presiden dalam bidang-bidang khusus dan/atau bidang-bidang tertentu. Tentunya kehadiran PC ini menimbulkan tanda tanya bagi publik, bagaimana tidak dalam batas penalaran yang wajar keberadaan PC sementara tentunya akan bertentangan dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), yang diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Disebutkan secara jelas dalam pasal tersebut bahwa Wantimpres bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. 

Jika kita melacak Dewan Pertimbangan Presiden dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, yang ditetapkan pada tanggal 28 Desember 2006 melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006. Tugas dan susunan keanggotaan Wantimpres juga sudah cukup komprehensif. Tugas secara rinci menjelaskan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sedangkan keanggotaan Wantimpres yang terdiri dari 9 (sembilan) orang sudah mewakili tokoh-tokoh nasional, pakar-pakar terpilih, terbaik, dan ahli dibidangnya. Artinya apabila Presiden menghendaki jawaban atau way out suatu masalah, maka Wantimpres cukup mampu memberikan jawaban dan solusi atas masalah tersebut.

Tugas Wantimpres antara lain:

1. Memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dalam menjalankan kekuasaan Pemerintahan Negara.

2. Pemberian nasihat dan pertimbangan tersebut wajib dilakukan oleh Wantimpres baik diminta atau tidak oleh Presiden.

3. Penyampaian nasihat dan pertimbangan tersebut dapat dilakukan secara perorangan maupun sebagai satu kesatuan nasihat dan pertimbangan seluruh anggota Wantimpres.

4. Wantimpres melaksanakan fungsi nasihat dan pertimbangan yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara.

5. Dalam menjalankan tugas dan fungsi tersebut Wantimpres tidak dibenarkan memberikan keterangan, pernyataan, dan/atau menyebarluaskan isi naskah dan pertimbangan kepada pihak manapun.

6. Atas permintaan Presiden, Wantimpres dapat mengikuti siding cabinet serta kunjungan kerja dan kunjungan kenegaraan.

7. Dalam melaksanakan tugasnya Wantimpres dapat meminta informasi dari instansi pemerintah terkait dan Lembaga negara lainnya.

Sedangkan keanggotaan Wantimpres berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 137/P/2019 tentang Pengangkatan dalam Keanggotaan Dewan Pertimbangan Presiden Tahun 2019 – 2024, adalah: (1) Wiranto (Ketua merangkap anggota), dengan anggota (2) Arifin Panigoro, (3) Dato Sri A. Tahir, (4) Habib Muhammad Lutfi Yahya, (5) Muhammad Mardiono, (6) Putri Kus Wisnu Wardhani, (7) R. Agung Laksono, (8) Sidarto Danusubroto, dan (9) Soekarwo.                          

Berbicara mengenai siapa yang membantu Presiden, secara konstitusional paling tidak sudah ada 3 (tiga) lembaga yang disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu seorang Wakil Presiden (Pasal 4 ayat 2), Dewan Pertimbangan Presiden (Pasal 16), dan Menteri-menteri yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan (Pasal 17). Hal-hal yang berkaitan dengan pembentukan Menteri sebagai pembantu Presiden diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam UU tersebut dimungkinkan bagi Presiden untuk mengangkat Wakil Menteri, membentuk Kementerian Koordinasi, melakukan pemisahan atau penggabungan Kementerian. 

Selain ketiga Lembaga di atas, sebenarnya ada beberapa lembaga/institusi yang keberadaannya bisa dikategorikan sebagai pembantu Presiden. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, dikenal adanya KSP atau Kantor Staf Presiden yang mempunyai tugas menyelenggarakan pemberian dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan pengendalian program-program prioritas nasional, komunikasi politik, dan pengelolaan isu strategis. KSP dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2019. 

Memperhatikan beberapa contoh di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa tidak ada ketentuan yang melarang pembentukan lembaga sebagai pembantu Presiden. Selagi dibutuhkan, rasional, dan tersedia anggaran, maka keberadaan lembaga itu dimungkinkan. Sebagaimana dituliskan di atas, Presidential Club bukan lembaga yang mengada-ada dalam artian sebagai sesuatu yang baru. Di beberapa negara juga dikenal lembaga seperti itu, meski dengan nama dan keanggotaan yang berbeda. Di Amerika Serikat misalnya, dikenal The President Club, meskipun tidak terstruktur secara formal. Beberapa mantan Presiden seperti Jimmy Carter, Bill Clinton mengubah orientasi kegiatan mereka dengan aktivitas di bidang kebijakan dan diplomasi tingkat tinggi. Hal itu antara lain yang kemudian menjadikan Jimmy Carter mendapatkan hadiah nobel perdamaian pada tahun 2002. Kebanyakan para mantan Presiden Amerika Serikat cenderung fokus pada kegiatan sosial, dan memberi ruang pada Presiden baru untuk bekerja (Thomas F. Schaller, University of Maryland, voaindonesia.com, 24 mei 2024).

Sebenarnya, apabila keinginan membentuk PC sebagai lembaga informal, dengan tujuan tetap merajut silaturahmi sehingga komunikasi antar mantan Presiden dengan Presiden yang sedang menjabat tetap terjalin dengan baik, harmonis, dan saling menghormati, maka rencana pembentukan Presidential Club tidak akan menimbulkan polemik di masyarakat, tidak terjadi pro dan kontra karena sesungguhnya tujuan pembentukannya adalah baik. 

Ada dua hal penting yang harus dipikirkan secara mendalam, pertama secara organisasi kelembagaan negara. Beberapa waktu yang lalu pada tahun 2014 Presiden Joko Widodo merampingkan keberadaan lembaga negara yang dinilai tidak efektif, tidak efisien, dan tumpang tindih tugas dan fungsinya dengan lembaga lain, dengan membubarkan keberadaannya. Apakah Presidential Club tidak bertentangan dengan semangat tersebut. 

Kedua, masalah anggaran negara. Melihat postur keuangan negara, pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2024 yang telah disetujui DPR dan ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2023, Pendapatan Negara diestimasi sebesar Rp. 2.802,3 triliun sedangkan Belanja Negara direncanakan sebesar Rp. 3.325,1 triliun. Terjadi defisit anggaran sebesar 2,29 %. Dengan memperhatikan angka-angka tersebut, apakah mungkin Pemerintah tetap akan menambah beban keuangan negara lagi dengan membentuk Presidential Club ???

Penulis adalah Dosen di Fakultas Hukum, Universitas Bengkulu.